Rabu, 01 Maret 2017

Latepost: Kebaikan Kecil untuk Sesama

Sebenarnya ini sudah lama aku tulis sih. Iseng coba posting di blog lagi. Waktu lihat file di laptop, ada cerita ini yang belum sempat aku posting. Kejadian ini terjadi pada 7 Oktober 2015 (lama banget ya, aku aja heran).

*****

Baru saja aku selesai kelas Bahasa Mandarin di Rumah Bahasa, aku langsung meluncur ke bagian lain dari kompleks Balai Pemuda Surabaya. Kebetulan sedang ada book fair disitu. Sebenarnya dua hari lalu sudah kesitu sih, tapi akhirnya kepingin kesitu lagi karena masih ada buku yang masih dibeli. Mumpung murah, hehe. Buku-buku yang kubeli rata-rata harganya 15.000, ada yang 12.000, malah ada yang 10.000. Kalau begitu yang ada rasanya kalap pengen ngeborong seluruh isi pameran.

Biasanya kalau sudah kalap belanja, rasanya rada khilaf begitu. Akupun demikian. Yah, namanya juga cewek. Kalau belanja kan seneng, tapi kalau sudah kebanyakan belanja jadinya khilaf deh. Tapi berusaha biasa saja dan menghibur diri. Buku kan bisa jadi investasi sampai nanti tua.

Nah, inti ceritanya dimulai ketika aku keluar dari pintu exit ke tempat parkiran. Begitu turun meniti tangga, ada laki-laki yang menawarkan koran. Kelihatannya sih masih bisa dibilang mas-mas gitu lah ya. Yah, kalau baca koran sih mendingan pinjem aja daripada beli. Lagian, sudah lewat maghrib juga. Pastinya itu koran sisa pagi tadi. Aku menolak mas-mas itu dengan halus.

Ketika sudah duduk di atas motor, aku inget kalau belum menukarkan struk belanja dengan kupon undian. Aku balik lagi ke pintu masuk book fair. Setelah mengurus ini itu, aku balik lagi ke parkiran, duduk di atas motor sambil main hape. Setelah cukup, aku pasang masker, siap untuk pulang.

Nah, waktu itu si mas-mas datang lagi, nawarin koran. Sama seperti sebelumnya, aku menolak halus, namun aku masih disitu, belum bersiap untuk menegakkan motor. Mas-mas itu, tanpa berusaha untuk kelihatan pantas untuk dikasihani, berkata kalau koran yang dibawanya masih banyak. Benar juga, ya, padahal sudah semalam itu. Beberapa jam lagi sudah ganti hari dan pastinya korannya tidak laku.

Dibilang begitu, sontak hatiku terusik (heah, bahasanya bahasa novel amat). Aku bertanya, “Jawa Pos berapa Mas?”

“Empat ribu Mbak.”

Harga normalnya sih lima ribu, tapi karena sudah malam ya jadi dimurahin. Refleks aku ngulurin uang lima ribu sekalian.

“Sekalian lima ribu aja ya, Mas.”

“Alhamdulillah, barakallah, semoga berkah, Mbak.” Si Mas menerima uang dengan perasaan syukur yang kentara sekali.

Nyessss.... rasanya hati ini campur aduk, antara terharu, tersanjung, bahagia, dan entah apalagi. Dari tadi memang si mas perkataannya baik dan sopan. Kurang bisa merinci, namun diantaranya yaitu si Mas masih sempet-sempetnya ngingetin aku yang mungkin sedikit teledor di matanya. Mulai dari meletakkan hape sembarangan di pangkuan sampai dompet juga.

“Hapenya dibenerin dulu, Mbak, jangan ditaruh begitu, nanti jatuh.”

Sekitar dua kali beliau mengingatkan begitu. Aku yang sudah biasa begitu hanya cengengesan. Yah, mungkin menurutnya aku agak serampangan, menaruh hape dengan posisi yang rentan membuat hapenya jatuh.

Yang membuatku teringat pada beliau yaitu ekspresi bersyukurnya ketika menerima uang dariku. Aku nggak bisa lupa itu. Aku bisa merasakan kalau beliau orang yang tulus dari perkataannya yang sopan, tidak memaksa, dan tidak mementingkan dirinya sendiri. Aku yang belum tentu membeli korannya, dengan baik hatinya diperingatkan agar hati-hati memerlakukan hapeku, yang mungkin di matanya merupakan suatu benda yang mewah. Padahal hapeku itu, walaupun android, termasuk agak jadul jika dibandingkan dengan punya teman-temanku. Yang lain punya hape keluaran terbaru, contoh saja samsul sampai apel, sementara hapeku sudah berumur dua tahun dan mulai penyakitan. Untuk dipakai selfie pun ga bagus, karena kamera depannya kurang bagus, tidak seperti punya teman-teman.

Sepeninggal si mas koran, refleks aku langsung nangis. Perasaanku campur aduk, sampai aku tidak bisa merangkai kata-kata untuk ditulis disini. Beneran. Sampai di jalan raya pun aku masih nangis. Aku baru berpikir kenapa aku nggak kasih beliau uang sepuluh ribu saja, namun aku punya pertimbangan. Aku takut kalau beliau merasa tersinggung atau apa, namun setelah kupikir, tampaknya beliau bukan orang seperti itu. Uang seribu rupiah saja sangat disyukuri, apalagi enam ribu rupiah. Rasanya ingin ngajak ngomong si Mas sebenarnya, tapi takut mengganggu pekerjaannya. Beliau dikejar waktu untuk menghabiskan dagangannya yang terancam tak laku.

Aku masih ingat ketika aku bertanya, “Jualan dari pagi?”

“Iya, Mbak. Ya begini ini, kalau jualan kadang laku kadang nggak.”

“Jualan dimana aja, Mas?”

“Dimana-mana Mbak, ini dari tadi muter-muter.”

Ya Allah, speechless...
           
Aku mau sharing ini bukan karena berniat riya’ atau bagaimana, namun hanya ingin sharing pengalaman dan pelajaran hidup. Silahkan disimpulkan sendiri pelajaran dari peristiwa ini, karena aku terlalu speechless untuk merangkai kata inspirasi yang datang dari si mas penjual koran.
            
Right now, I am sitting here with the newspaper I bought from him. May Allah always light his way and give much of His blessings every day.
           
Uang yang kukeluarkan hanya lima ribu rupiah, namun pelajaran yang didapatkan tak bisa diukur dengan uang. Kalau ada yang bilang bahwa kebahagiaan tidak bisa dibeli dengan uang, pernyataan itu tidak sebenuhnya benar. Buktinya, dengan mengeluarkan uang segitu, aku bisa bahagia, lebih dari bahagia karena bisa menolong orang lain yang membutuhkan. Jadi dengan kata lain, aku telah membeli kebahagiaan itu, dengan uang pastinya.

Review: Mie Nelongso (Mojokerto)

Minggu, 19 Februari 2017, aku coba makan di Mie Nelongso yang ada di Kota Mojokerto. Awalnya kurang yakin sih, tapi karena adek 'maksa', jadinya mau-mau aja.

Tempatnya strategis, di daerah tengah kota. Banyak yang datang... yah serupa dengan kedai-kedai mie sejenis yang laris manis. Tempatnya juga luas, interiornya bagus, cuma.... tempatnya nggak no smoking

Memang sih, yang makan disitu nggak ada yang merokok, Cuma aku sempet nangkap satu orang yang merokok dekat pintu keluar. Bukan pintu keluar juga sih, karena sebenarnya tempatnya nggak punya pintu. Itu seperti toko di ruko biasa. Pintunya pakai rolling, jadi langsung terekspos ke udara luar tanpa ada pintu yang melindungi dari dunia luar.

Aku dari awal sudah merasa kurang yakin bukan tanpa sebab. Sebelum makan Mie Nelongso ini, aku sudah pernah nyobain dua merk mi pedas lain yang berbeda... dan rasanya seragam. Hal yang sama terulang lagi.
Seperti biasa, mi-mi jenis ini pedasnya punya level. Rasanya sih... ya begitulah. Rasanya sama dengan mi-mi pedas lain merk. Kalau saja nggak ada pedesnya, entah bagaimana rasa aslinya...

Maafkan nggak kefoto semuanya. Seharusnya ada dua buah pangsit yang nggak kefoto.

Sama kaya mie lainnya sih. Ada daun bawang, bawang goreng, ayam bubuk...



Dan yang bikin saya agak kecewa adalah makanan pendampingnya (atau lauk kali ya?). Kalau mie lain dikasih telur, daging ala-ala ham atau lauk lainnya, yang ini cuma dikasih empat buah pangsit yang terdiri dari dua macam bentuk. Pikir saya, ini mie kan sudah berminyak, ya... coba kalau dikasih lauk yang lain, jadi nggak berasa banget keringnya. Untung saja (untung!) ternyata dua diantara pangsit itu bukan benar-benar pangsit. Ternyata mereka itu semacam nugget ayam yang bentuknya kaya pangsit. Coba kalau bentuknya benar-benar seperti nugget ya, biar visualnya berasa lebih rame gitu...



Dari semua elemen, jujur hanya nugget ini yang kusuka
Untuk info, level empat itu udah puedes loh. Aku aja yang pecinta pedas lama banget habisnya. Anggep aja tiga puluh menit (hanya perkiraan) baru habis. Aku level empat ikut adekku aja, dia kan sudah pernah kesitu. Waktu aku tanya sebelumnya dia makan level berapa, katanya no level alias nggak pedes. Dzieng! Aku merasa surprised. Ternyata... Tadinya aku mau level dua aja. Aku kira waktu itu dia pesen level empat juga.

Untuk minumannya, saya sengaja nggak beli karena sudah bawa minum sendiri. Sudah kebiasaan dan untuk menghemat juga :P

Satu hal yang pasti disukai orang adalah adanya wi-fi. Memang sekarang hampir di tiap tempat makan ada wi-finya. Warung kopi saja ada kok...