Jumat, 29 Desember 2017

Tukang Parkir Juga Korupsi!

Sengaja menulis ini karena sudah gerah banget sama yang namanya tukang parkir, apalagi tukang parkir pinggir jalan. Sudah bukan rahasia lagi kalau parkir itu sering bawa masalah, terutama parkiran yang nggak pakai sistem loket.

Orang-orang teriak 'koruptor, koruptor'! pada wakil rakyat yang ketahuan korupsi. Bukannya masa bodoh ya, tapi kayaknya tindakan terhadap koruptor kelas teri kok kurang terdengar gaungnya, ya?

Jadi ceritanya, hari ini saya ngantar adik (laki-laki) ke Dispendukcapil Gresik untuk perekaman KTP-el (sengaja nyebut lokasi). Sebelum masuk gerbang, kami sudah diarahkan tukang parkir pinggir jalan untuk parkir disitu. Saya bilang ke adik, "Masuk aja. Ada kok parkiran di dalam", tapi ternyata lagi penuh dan kami diarahkan parkir di luar di pinggir jalan.

Aku sih aslinya males ya parkir disitu. Sudah tahu modus operasinya. Kita dikasih karcis. Disitu jelas tertulis kalau tarifnya seribu rupiah, karcis untuk pemilik kendaraan, dan habis parkir harus disobek.

Ya sudahlah kami masuk. Karena kurang jelas informasi tentang perekaman KTP-el, aku mulai emosi (he he) dan akhirnya pergi dari situ. Aku kasih uang ke si adik seribu rupiah, suruh dia yang kasih ke tukang parkirnya. Rasanya males aja berurusan sama orang macam mereka. Sementara karcis dari tadi aku bawa dan aku lipat dua.

Bahkan sebelum kami mencapai motor, tukang parkir itu mengikuti kami lalu bilang, "Dua ribu!", Karena aku lagi mode emosi, maka tak tanggung-tanggung aku langsung bilang, "Lho, bukannya seribu ya? Di karcisnya seribu."

Sudah kuduga orang itu kepalang basah, lalu minta karcis yang masih aku pegang. "Iya, ya udah sini karcisnya," katanya.

"Karcisnya kan buat pemilik motor," kataku tak mau kalah.

Suasana agak ribut, dan jadi tambah sedih dan kesel karena adikku ngambil karcis dari tanganku lalu dikasih ke tukang parkir. Masih jelas aku ingat si koruptor bilang, "Wes ta, kakean ngomong iki! (Sudahlah, banyak omong ini!)". Lalu ngacir. Dasar penakut, penipu! Sudah ketahuan jeleknya, reaksi penyelamatan pertama adalah menghina orang! Padahal saya menghina dia aja nggak!

Karena aku orangnya emosian, maka di perjalanan aku nangis. Aku bahkan berargumen sama si adik. Dia bilang dia rebut karcis dari aku biar suasana nggak tambah ramai. Takutnya jadi pusat perhatian orang. Biar saja. Mana peduli. Toh bukan aku yang salah. Lalu aku ngasih tausiyah ke dia tentang bagaimana sistem parkir harusnya bekerja. Bahwa tidak semua orang itu orang baik. Kita harus teliti dan waspada biar tidak dibodohi.

Bayangkan, dari satu orang dia bisa nipu seribu rupiah. Trus berapa banyak yang parkir disitu? Berapa jam dia kerja? Dan sudah berapa bulan dia kerja? Berapa uang yang berhasil dia dapat dari aktifitas menipu? Sungguh perbuatan jahat. Kalau ada kata 'koruptor', pikiran orang pasti langsung ke wakil rakyat yang ditangkap KPK. Hellloooo.... koruptor kenyataannya ada dimana-mana!


PENGALAMAN LAIN
Pengalaman lain waktu ada di Pasar Gresik. Masih dengan karcis yang rupanya sama, kami ditarik dua ribu. Pernah pas aku kesitu sendirian, aku cuma ngasih seribu. Pak parkirnya agak terkesima, tapi nggak bilang apa-apa trus pergi.

Syukurlah gak banyak omong, pikirku. Setidaknya bapaknya berhasil satu kali terhindar dari dosa melakukan pungutan liar.

Beberapa tahun sebelumnya, waktu ke Taman Bungkul Surabaya, ini lebih ekstrim lagi. Di karcis tertulis cuma lima ratus rupiah, jadi aku kasih lima ratus. Eh orangnya nolak. Mintanya tiga ribu.

"Kan di karcis lima ratus?" belaku.

"Yah, Mbak. Kan kami kerja juga butuh makan. Butuh minum."

Dongkol sih. Tapi aku kasih aja tiga ribu. Udahlah urusan dia sama Yang Di Atas. Sejak saat itu aku nggak pernah lagi parkir di situ.

Di rumah sakit depan Bungkul juga gitu. Karcisnya seribu (yang angka satunya sudah diganti angka 2 dengan spidol), tapi temanku ditarik dua ribu. Untung pas aku pergi, orang itu nggak tahu. Aku ngacir aja, Nggak bayar. Toh dengan aku nggak bayar orang itu nggak rugi dan masih tetep 'untung', kan?"

Pernah juga parkir di pinggir jalan depan Hypermart Plaza Gresik. Karcisnya masih sama. Ada papan bertuliskan tarif untuk motor itu seribu. Tapi tetep petugasnya minta dua ribu.

Sentimenku terhadap tukang parkir bikin aku milah-milah dulu tempat mana yang mau aku kunjungi. Ya kali masa ke ATM aja dimintai uang parkir? Sungguh terlalu!

Sebenarnya ini ada kesalahan juga sih di pihak konsumen. Selalu tanya, "Berapa?" ya jelas diminta lebih mahal dari seharusnya. Padahal kalau mau peduli sama karcis (kalau diberi karcis) disitu jelas tertulis berapa yang harus dibayar.

Hendaknya dari pemerintah sendiri selalu tegas. Memang banyak sekali tukang parkir, tapi bukankah itu memang sudah jadi tanggung jawab pemerintah? Aku yakin yang punya pengalaman tidak enak dengan tukang parkir bukan hanya aku. Selain itu, beri papan dengan tulisan besar-besar tentang tarif parkir. Sebenarnya banyak orang yang aku yakin nggrundel dalam hati, cuma tidak mau ribut dengan tukang parkir lalu akhirnya mengalah.

Koruptor bukan hanya tukang parkir. Pegawai pemerintah ada juga, seperti polisi yang minta dibuatkan surat kehilangan atau pegawai desa yang dimintai pembuatan surat. Ketika kita bilang, "Berapa, Pak?" jawabnya "Seikhlasnya." Ini jelas bukti kalau tidak ada tarif resminya. Tapi aku pernah dengar kalau praktik pungli begini sudah dihapuskan. Ternyata memang benar. Sudah kubuktikan. Jadi aku nggak bakal bayar atau tanya berapa tarifnya kalau orangnya sendiri tidak minta. Tahu ini rasanya lega.


MINTA KARCIS
Kalau aku yang sudah diberi karcis saja masih berani melakukan penipuan (atau juga pemerasan?) apalagi kalau tidak diberi karcis? Jadi kalau parkir, harusnya minta karcis. Karcis yang baru, bukan yang sudah ditekuk apalagi lecek (aku dulu pernah nerima karcis yang lecek banget!). Kalau karcisnya penampakannya seperti itu, bisa dipastikan itu karcis 'malak' dari orang yang sudah parkir sebelumnya. Seharusnya kan sesudah parkir karcis harus dirobek, agar tidak bisa dipakai lagi oleh tukang parkir. Kalau harusnya dengan satu karcis uang yang masuk seribu, dengan dipakai lagi bisa menghasilkan dua ribu, tiga ribu, dan seterusnya.

Jadi tipsnya, mintalah karcis parkir. Lalu bayar sesuai tarif yang tertulis. Jangan beri karcis pada tukang parkir. Kalau tetap dipaksa, robek aja karcis itu di depan mukanya. Hehe...


PENIPU SEKALIGUS PENGECUT
Orang-orang seperti itu, sudah penipu, pengecut lagi. Mungkin memang sudah paket komplit kali ya. Penjahat ya pengecut. Orang takut karena salah. Harusnya jika dia merasa benar, ya jelaskan dong aku salahnya dimana. Sudah ketahuan salah, yang keluar dari mulutnya cuma umpatan, lalu ngeloyor pergi. Itu laki-laki apa tempe ya?

Kalaupun diajak adu argumen aku nggak takut, karena aku nggak salah. Kalau masih nyolot, bakal kubawa dia ke DPRD (ada di sampingnya Dispenduk!) tapi karcisku sudah keburu direbut adik dan aku yakin penipu itu bakalan takut dan menolak kalau harus ke DPRD.

Karena itulah aku salut sama tukang parkir yang benar-benar bertanggung jawab, yang aku sendiri lupa pernah aku jumpai atau tidak.


Rabu, 01 Maret 2017

Latepost: Kebaikan Kecil untuk Sesama

Sebenarnya ini sudah lama aku tulis sih. Iseng coba posting di blog lagi. Waktu lihat file di laptop, ada cerita ini yang belum sempat aku posting. Kejadian ini terjadi pada 7 Oktober 2015 (lama banget ya, aku aja heran).

*****

Baru saja aku selesai kelas Bahasa Mandarin di Rumah Bahasa, aku langsung meluncur ke bagian lain dari kompleks Balai Pemuda Surabaya. Kebetulan sedang ada book fair disitu. Sebenarnya dua hari lalu sudah kesitu sih, tapi akhirnya kepingin kesitu lagi karena masih ada buku yang masih dibeli. Mumpung murah, hehe. Buku-buku yang kubeli rata-rata harganya 15.000, ada yang 12.000, malah ada yang 10.000. Kalau begitu yang ada rasanya kalap pengen ngeborong seluruh isi pameran.

Biasanya kalau sudah kalap belanja, rasanya rada khilaf begitu. Akupun demikian. Yah, namanya juga cewek. Kalau belanja kan seneng, tapi kalau sudah kebanyakan belanja jadinya khilaf deh. Tapi berusaha biasa saja dan menghibur diri. Buku kan bisa jadi investasi sampai nanti tua.

Nah, inti ceritanya dimulai ketika aku keluar dari pintu exit ke tempat parkiran. Begitu turun meniti tangga, ada laki-laki yang menawarkan koran. Kelihatannya sih masih bisa dibilang mas-mas gitu lah ya. Yah, kalau baca koran sih mendingan pinjem aja daripada beli. Lagian, sudah lewat maghrib juga. Pastinya itu koran sisa pagi tadi. Aku menolak mas-mas itu dengan halus.

Ketika sudah duduk di atas motor, aku inget kalau belum menukarkan struk belanja dengan kupon undian. Aku balik lagi ke pintu masuk book fair. Setelah mengurus ini itu, aku balik lagi ke parkiran, duduk di atas motor sambil main hape. Setelah cukup, aku pasang masker, siap untuk pulang.

Nah, waktu itu si mas-mas datang lagi, nawarin koran. Sama seperti sebelumnya, aku menolak halus, namun aku masih disitu, belum bersiap untuk menegakkan motor. Mas-mas itu, tanpa berusaha untuk kelihatan pantas untuk dikasihani, berkata kalau koran yang dibawanya masih banyak. Benar juga, ya, padahal sudah semalam itu. Beberapa jam lagi sudah ganti hari dan pastinya korannya tidak laku.

Dibilang begitu, sontak hatiku terusik (heah, bahasanya bahasa novel amat). Aku bertanya, “Jawa Pos berapa Mas?”

“Empat ribu Mbak.”

Harga normalnya sih lima ribu, tapi karena sudah malam ya jadi dimurahin. Refleks aku ngulurin uang lima ribu sekalian.

“Sekalian lima ribu aja ya, Mas.”

“Alhamdulillah, barakallah, semoga berkah, Mbak.” Si Mas menerima uang dengan perasaan syukur yang kentara sekali.

Nyessss.... rasanya hati ini campur aduk, antara terharu, tersanjung, bahagia, dan entah apalagi. Dari tadi memang si mas perkataannya baik dan sopan. Kurang bisa merinci, namun diantaranya yaitu si Mas masih sempet-sempetnya ngingetin aku yang mungkin sedikit teledor di matanya. Mulai dari meletakkan hape sembarangan di pangkuan sampai dompet juga.

“Hapenya dibenerin dulu, Mbak, jangan ditaruh begitu, nanti jatuh.”

Sekitar dua kali beliau mengingatkan begitu. Aku yang sudah biasa begitu hanya cengengesan. Yah, mungkin menurutnya aku agak serampangan, menaruh hape dengan posisi yang rentan membuat hapenya jatuh.

Yang membuatku teringat pada beliau yaitu ekspresi bersyukurnya ketika menerima uang dariku. Aku nggak bisa lupa itu. Aku bisa merasakan kalau beliau orang yang tulus dari perkataannya yang sopan, tidak memaksa, dan tidak mementingkan dirinya sendiri. Aku yang belum tentu membeli korannya, dengan baik hatinya diperingatkan agar hati-hati memerlakukan hapeku, yang mungkin di matanya merupakan suatu benda yang mewah. Padahal hapeku itu, walaupun android, termasuk agak jadul jika dibandingkan dengan punya teman-temanku. Yang lain punya hape keluaran terbaru, contoh saja samsul sampai apel, sementara hapeku sudah berumur dua tahun dan mulai penyakitan. Untuk dipakai selfie pun ga bagus, karena kamera depannya kurang bagus, tidak seperti punya teman-teman.

Sepeninggal si mas koran, refleks aku langsung nangis. Perasaanku campur aduk, sampai aku tidak bisa merangkai kata-kata untuk ditulis disini. Beneran. Sampai di jalan raya pun aku masih nangis. Aku baru berpikir kenapa aku nggak kasih beliau uang sepuluh ribu saja, namun aku punya pertimbangan. Aku takut kalau beliau merasa tersinggung atau apa, namun setelah kupikir, tampaknya beliau bukan orang seperti itu. Uang seribu rupiah saja sangat disyukuri, apalagi enam ribu rupiah. Rasanya ingin ngajak ngomong si Mas sebenarnya, tapi takut mengganggu pekerjaannya. Beliau dikejar waktu untuk menghabiskan dagangannya yang terancam tak laku.

Aku masih ingat ketika aku bertanya, “Jualan dari pagi?”

“Iya, Mbak. Ya begini ini, kalau jualan kadang laku kadang nggak.”

“Jualan dimana aja, Mas?”

“Dimana-mana Mbak, ini dari tadi muter-muter.”

Ya Allah, speechless...
           
Aku mau sharing ini bukan karena berniat riya’ atau bagaimana, namun hanya ingin sharing pengalaman dan pelajaran hidup. Silahkan disimpulkan sendiri pelajaran dari peristiwa ini, karena aku terlalu speechless untuk merangkai kata inspirasi yang datang dari si mas penjual koran.
            
Right now, I am sitting here with the newspaper I bought from him. May Allah always light his way and give much of His blessings every day.
           
Uang yang kukeluarkan hanya lima ribu rupiah, namun pelajaran yang didapatkan tak bisa diukur dengan uang. Kalau ada yang bilang bahwa kebahagiaan tidak bisa dibeli dengan uang, pernyataan itu tidak sebenuhnya benar. Buktinya, dengan mengeluarkan uang segitu, aku bisa bahagia, lebih dari bahagia karena bisa menolong orang lain yang membutuhkan. Jadi dengan kata lain, aku telah membeli kebahagiaan itu, dengan uang pastinya.

Review: Mie Nelongso (Mojokerto)

Minggu, 19 Februari 2017, aku coba makan di Mie Nelongso yang ada di Kota Mojokerto. Awalnya kurang yakin sih, tapi karena adek 'maksa', jadinya mau-mau aja.

Tempatnya strategis, di daerah tengah kota. Banyak yang datang... yah serupa dengan kedai-kedai mie sejenis yang laris manis. Tempatnya juga luas, interiornya bagus, cuma.... tempatnya nggak no smoking

Memang sih, yang makan disitu nggak ada yang merokok, Cuma aku sempet nangkap satu orang yang merokok dekat pintu keluar. Bukan pintu keluar juga sih, karena sebenarnya tempatnya nggak punya pintu. Itu seperti toko di ruko biasa. Pintunya pakai rolling, jadi langsung terekspos ke udara luar tanpa ada pintu yang melindungi dari dunia luar.

Aku dari awal sudah merasa kurang yakin bukan tanpa sebab. Sebelum makan Mie Nelongso ini, aku sudah pernah nyobain dua merk mi pedas lain yang berbeda... dan rasanya seragam. Hal yang sama terulang lagi.
Seperti biasa, mi-mi jenis ini pedasnya punya level. Rasanya sih... ya begitulah. Rasanya sama dengan mi-mi pedas lain merk. Kalau saja nggak ada pedesnya, entah bagaimana rasa aslinya...

Maafkan nggak kefoto semuanya. Seharusnya ada dua buah pangsit yang nggak kefoto.

Sama kaya mie lainnya sih. Ada daun bawang, bawang goreng, ayam bubuk...



Dan yang bikin saya agak kecewa adalah makanan pendampingnya (atau lauk kali ya?). Kalau mie lain dikasih telur, daging ala-ala ham atau lauk lainnya, yang ini cuma dikasih empat buah pangsit yang terdiri dari dua macam bentuk. Pikir saya, ini mie kan sudah berminyak, ya... coba kalau dikasih lauk yang lain, jadi nggak berasa banget keringnya. Untung saja (untung!) ternyata dua diantara pangsit itu bukan benar-benar pangsit. Ternyata mereka itu semacam nugget ayam yang bentuknya kaya pangsit. Coba kalau bentuknya benar-benar seperti nugget ya, biar visualnya berasa lebih rame gitu...



Dari semua elemen, jujur hanya nugget ini yang kusuka
Untuk info, level empat itu udah puedes loh. Aku aja yang pecinta pedas lama banget habisnya. Anggep aja tiga puluh menit (hanya perkiraan) baru habis. Aku level empat ikut adekku aja, dia kan sudah pernah kesitu. Waktu aku tanya sebelumnya dia makan level berapa, katanya no level alias nggak pedes. Dzieng! Aku merasa surprised. Ternyata... Tadinya aku mau level dua aja. Aku kira waktu itu dia pesen level empat juga.

Untuk minumannya, saya sengaja nggak beli karena sudah bawa minum sendiri. Sudah kebiasaan dan untuk menghemat juga :P

Satu hal yang pasti disukai orang adalah adanya wi-fi. Memang sekarang hampir di tiap tempat makan ada wi-finya. Warung kopi saja ada kok...